PASUNDAN EKSPRES - Krisis pornografi deepfake yang melanda sekolah-sekolah di Korea Selatan. Salah satu negara dengan K-pop dan K-drama yang melejit di hampir seluruh dunia ini, tengah dihadapkan dengan krisis malapetaka pornografi dari sebuah kecerdasan buatan atau yang dikenal sebagai AI.
Belum lama ini, Korea Selatan dikejutkan oleh penemuan obrolan grup di Telegram yang melecehkan perempuan menggunakan salah satu jenis AI yang bernama deepfake.
Krisis Pornografi Deepfake yang Melanda Sekolah-sekolah di Korsel
Istilah deepfake merujuk pada konten palsu berupa foto, video, dan audio yang dimodifikasi dari sumber aslinya dengan bantuan AI.
Kejadian ini mengingatkan publik pada kasus Nth Room yang juga terjadi di aplikasi Telegram.
Selain itu, peristiwa tersebut menambah daftar panjang kasus kejahatan seksual berbasis gender di negara ginseng itu, setelah masalah molka, yaitu penggunaan kamera tersembunyi untuk merekam dan mengintai aktivitas seseorang, yang telah merajalela selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Jadi Tersangka! Mantan Presiden Korea Selatan Bantu Menantu Dapat Jabatan di Maskapai Penerbangan
BACA JUGA: UNICEF Merilis Tender Darurat untuk Vaksin Mpox atau Cacar Monyet
Kasus pornografi deepfake di Korea Selatan bermula dari adanya akun di X yang menyebutkan bahwa terdapat 300 sekolah di Korea Selatan, termasuk SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, yang menjadi korban kejahatan seksual tersebut.
Data mengungkap fakta mengejutkan bahwa siswa perempuan di bawah umur menjadi target dalam pembuatan konten pornografi yang menggunakan kecerdasan buatan.
Kepala Biro Investigasi di Badan Kepolisian Nasional Korea, Woo Jong-soo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memulai penyelidikan terhadap kasus pornografi deepfake setelah menerima 88 laporan dalam waktu seminggu.
Menurut Korea Times, sebuah grup pornografi deepfake yang terdiri dari 227 ribu anggota, termasuk beberapa individu yang diduga masih remaja. Dalam grup tersebut terdapat bot atau kecerdasan buatan yang secara otomatis mengedit foto perempuan yang dikirimkan oleh pengguna.
Awalnya, bot ini dapat digunakan tanpa biaya untuk dua foto. Setelah itu, pengguna harus membayar 0,49 dolar AS (sekitar Rp6.853) menggunakan mata uang kripto untuk setiap foto tambahan.
Pengguna mendapatkan foto korban dengan cara yang cukup sederhana, yaitu melalui akun media sosial milik teman, kolega, guru, atau kerabat perempuan. Setelah foto-foto tersebut diproses, mereka akan mengomentari hasil konten palsu tersebut dengan pernyataan-pernyataan yang merendahkan dan melecehkan perempuan.
Menurut Woo Jong-soo, Telegram masih tidak menanggapi permintaan kerjasama untuk mengusut kasus pornografi deepfake yang saat ini menimbulkan ketakutan dan kengerian masyarakat, terutama bagi perempuan.
Penyelidikan terhadap Telegram dimulai setelah Pavel Durov, pendiri dan CEO Telegram, ditangkap di Prancis bulan lalu.
Miliarder berusia 39 tahun itu menghadapi berbagai tuduhan karena dianggap tidak berhasil mengendalikan konten ekstremis dan ilegal di aplikasi perpesanan yang populer tersebut.
Pihak kepolisian Korea Selatan telah berkomitmen untuk mencari cara bekerja sama dengan berbagai lembaga investigasi, termasuk otoritas Prancis, untuk memperdalam penyelidikan mereka mengenai Telegram.
(ipa)