Nasional

Mengapa Uang Kuliah Tunggal Semakin Mahal? Kemendikbudristek Sebut Kuliah Tidak Wajib Padahal Syarat Kerja Minimal S1

Mengapa Uang Kuliah Tunggal Semakin Mahal? Kemendikbudristek Sebut Kuliah Tidak Wajib Padahal Syarat Kerja Minimal S1
Mengapa Uang Kuliah Tunggal Semakin Mahal? Kemendikbudristek Sebut Kuliah Tidak Wajib Padahal Syarat Kerja Minimal S1

PASUNDAN EKSPRES- Uang Kuliah Tunggal (UKT) di banyak kampus di Indonesia semakin mahal, menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bahwa perguruan tinggi bersifat tidak wajib, dengan dana pemerintah lebih difokuskan pada pendidikan wajib, yaitu SD, SMP, dan SMA.

Namun, kenyataan ini sering kali tidak diterima oleh masyarakat, mengingat syarat kerja saat ini umumnya memerlukan gelar sarjana (S1).

Menurut Prof. Cici Sri Cahyantri, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang sifatnya tidak wajib bagi masyarakat.

Pemerintah lebih memprioritaskan alokasi dana pada pendidikan dasar dan menengah yang diwajibkan oleh undang-undang.

Akibatnya, dana untuk perguruan tinggi relatif terbatas, sehingga biaya kuliah menjadi lebih tinggi bagi mahasiswa. Pernyataan dari Kemendikbudristek tersebut memicu kritik tajam dari netizen.

Masyarakat mempertanyakan logika di balik anggapan bahwa perguruan tinggi tidak wajib, sementara banyak pekerjaan yang memerlukan setidaknya gelar S1 sebagai syarat utama.

Bahkan, beberapa pekerjaan menetapkan IPK minimal 3,5 sebagai persyaratan, menambah beban bagi para mahasiswa yang harus berjuang memenuhi standar tersebut sambil menghadapi tingginya biaya pendidikan.

Berbagai kampus di Indonesia telah menyaksikan aksi demo dari mahasiswa yang menuntut penurunan UKT.

Mereka berargumen bahwa biaya yang tinggi ini tidak sebanding dengan dukungan dana yang diberikan pemerintah.

Mahasiswa juga meminta agar persyaratan pekerjaan yang mengharuskan gelar S1 dihapuskan atau setidaknya dilonggarkan, sehingga tidak semakin membebani mereka.

Kontroversi ini menjadikan Kemendikbudristek sebagai sorotan. Mereka dihadapkan pada tugas berat untuk menyeimbangkan alokasi dana pendidikan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan tinggi yang terjangkau.

Meskipun pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan, keterbatasan anggaran memaksa mereka untuk membuat prioritas yang sulit.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan meliputi peningkatan dana beasiswa, kerjasama dengan sektor swasta untuk mendukung pembiayaan pendidikan, dan reformasi persyaratan pekerjaan agar lebih fleksibel.

Diharapkan dengan langkah-langkah ini, beban mahasiswa bisa dikurangi dan akses ke pendidikan tinggi menjadi lebih merata.

Berita Terkait