Pojokan 253: Partai Fatalis-Oportunis

Kang Marbawi.
Tuhan… Ternyata Kau dibutuhkan, kalau kita sedang terpuruk, kesusahan, dililit utang, banyak masalah dan punya banyak keinginan. Bahkan pada beberapa orang, untuk mewujudkan keinginannya, entah ingin naik jabatan, kaya atau lainnya, rela melakukan ritual tertentu.
Seolah dengan menjalankan ritus itu, memastikan apa yang diinginkan, tercapai. Ritual itu, seumpama resep obat dokter yang harus diminum (tiga) 3 x sehari.
Atau pada saat-saat genting, nama-nama Tuhan, disebut ribuan kali. Berbagai upaya-ritual yang melibatkan Gusti Allah dilakukan. Seolah semua kesulitan itu akan hilang dengan sendirinya. Dalam kondisi seperti ini Yang Murbeng Alam menjadi pelarian dari masalah. Ya masih baguslah, “Kau” masih diingat walau pada kondisi kejepit.
Model laku seperti ini, menjadi ciri penganut partai Fatalisme. Aliran ini berteman dengan golongan Determenisme yang juga satu garis darah dengan aliran Jabariah. Doktrin suku ini, manusia tak kuasa apa-apa, segalanya telah ditentukan Tuhan.
BACA JUGA: Bersama STEM/STEAM, Matematika Menjadi Wahana Kreativitas dan Solusi Nyata
Tuhan… Kau dilupakan, jika kita berada pada kondisi berkecukupan, nyaman, aman, damai, sejahtera dan sentausa. Seolah semua akan berjalan sesuai kehendak kalbu dan berlangsung selamanya. Sehingga menyebut Tuhan hanya untuk pemanis saja. Mengingat-Mu hanya untuk menggugurkan kewajiban, itu saja sudah bagus.
Bahkan seringnya terlewatkan, terlupakan, terpinggirkan, seperti sajadah di pojok. Model seperti ini, masuk faksi Oportunis. Terlihat soleh di depan publik, tapi jika “sorangan” tak peduli Tuhan, segala hal di tabrak untuk memuaskan nafsu.
Bagi anggota geng-Oportunis, Tuhan memang menjadi tempat pelarian paling enak. Segala persoalan semua ditumpahkan kepada-Nya. Sang Khalik dianggap seperti pegadaian yang bisa “menyelesaikan masalah tanpa masalah”.
Pelarian dari tak maunya usaha secara rasional dan kasat kerja secara maksimal. Klan Fatalis-Oportunis bersekutu dengan barisan Pragmatism dalam kehidupan. Mencari keuntungan pribadi menjadi tujuan utama.
BACA JUGA: Mengenal Musim Kemarau Basah yang Melanda Indonesia Saat Ini
“Ada masalah, maka larilah kepada Tuhan”, itu motonya. Segala ritual yang kita lakukan macam sogokan kepada Tuhan, yang dilakukan diawal masalah. Tanpa berusaha untuk memaksimalkan Upaya. Ritual didahulukan daripada kasat kerja. Menyalahi konsep tawakal, kerja dulu baru doa/ritual.
Model kita ini masuk serikat beragama pasaran. Beragama sesuai musim, bergantung kondisi modal yang ada di kantong. Bila kantong tebal, Tuhan hanya ada pada jam tertentu, bahkan dilupakan.
Jika kantong tipis, Tuhan ada dimana-mana. Keberadaan Tuhan/Iman kita, percis seperti fluktuasi harga saham di bursa efek, yang sangat dipengaruhi perilaku dan kebijakan pemimpin politik.
Nah antara Tuhan sebagai tempat “ngungsi” dari persoalan yang dihadapi dan menyelesaikan persoalan itu sendiri, bertumpu pada kasat kerja yang dilakukan. Artinya bentuk upaya/kerja kita, diilhami dan didasari pandangan kita tentang keyakinan kepada Tuhan/keimanan.
Bagi korps fatalis- jabariah, apa pun yang dihasilkan oleh pekerjaan kita telah ditentukan jauh-jauh hari sejak sebelum kita ada. Berbeda dengan puak partai Puritan yang memandang pekerjaan adalah bahwa kerja keras dan efisiensi merupakan ekspresi keimanan seseorang dan memiliki nilai moral yang positif.
Doktrin partai Puritan memandang pekerjaan berpotensi sebagai penyelamat dan keselamatan dirinya sendiri, dari problem yang mereka hadapi.
Pemikiran partai Puritan ini, menjadikan dasar koalisi dari pemikiran Protestan Ethic yang memiliki etos kerja tinggi. Mereka memandang setiap pekerjaan didasari religiusitas dan representasi dari makhluk terpilih.
Penganut golongan Puritan menghamba (memberi nilai tinggi) pada produktivitas dan kesederhanaan. Dan sebaliknya menempatkan nilai rendah pada mereka yang tak bekerja keras dan tak mencoba untuk berhasil dalam pekerjaan mereka.